Breaking Articles

(Tidak) Memonopoli Senyum


Oleh Mahdi Andela 

Wikipedia menyebutkan bahwa dalam fisiologi, senyum adalah ekspresi wajah yang terjadi akibat bergeraknya atau timbulnya suatu gerakan di bibir atau kedua ujungnya, atau pula di sekitar mata. Kebanyakan orang senyum untuk menampilkan kebahagiaan dan rasa senang.

Senyum itu datang dari rasa kebahagiaan atau kesengajaan karena adanya sesuatu yang membuat dia senyum, bertambah baik raut wajahnya atau menjadi lebih cantik ketimbang ketika dia biasa saja atau ketika dia marah.

Sementara monopoli menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah situasi yang pengadaan barang dagangannya tertentu (di pasar lokal atau nasional) sekurang-kurangnya sepertiganya dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok, sehingga harganya dapat dikendalikan.

Definisi ini tidak jauh beda dengan definisi monopoli menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Menurut Undang-Undang ini, monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.

Empat paragraf di atas penulis kutip hanyalah sebagai referensi untuk pemahaman dasar saja, karena dalam tulisan ini penulis tidak ingin bahkan tidak berencana untuk membahas tentang persaingan usaha baik yang sehat terlebih lagi yang tidak sehat.

Kembali ke persoalan di atas, bahwa senyum itu datang dari rasa kebahagiaan. Senyum yang sesungguhnya adalah ketika seseorang merasa bahagia, senang dan nyaman. Memang tak dapat dibantah bahwa ada juga senyum yang terlihat di wajah seseorang padahal dia tidak sedang merasa bahagia, senang dan nyaman. Malah boleh jadi sedang merasakan hal yang sebaliknya. Sedih, pilu, kesal, marah, dongkol dan atau sebutan lain untuk perasaan yang seumpama itu. Tetapi itu umumnya adalah senyum palsu. Artinya senyum di luar tapi cemberut di dalam (hati).

Pandemi covid-19 yang melanda dunia telah berpengaruh pada bukan saja kualitas bahkan kuantitas senyum di wajah manusia. Akibat dari banyak orang yang mengalami penurunan bahkan kehilangan pendapatan, sehingga berdampak signifikan terhadap menurunnya rasa bahagia, senang dan nyaman.

Namun di antara kita masih ada orang-orang yang sekalipun juga terdampak, namun bisa disebut sedikit lebih beruntung sehingga masih bisa tersenyum. Sekalipun memang di tengah pandemi seperti saat ini sulit membedakan siapa yang tersenyum siapa yang tidak, karena mulut tertutup masker.

Namun senyum tak hanya dipahami sebagai ekspresi wajah yang terjadi akibat bergeraknya atau timbulnya suatu gerakan di bibir atau kedua ujungnya, atau pula di sekitar mata. Lebih dari itu senyum merupakan sebuah reaksi atau pengaruh dari rasa bahagia dan senang.  

Maka wajarlah jika kita yang bisa disebut sedikit lebih beruntung berbagi rasa bahagia dan senang dengan mereka yang kurang beruntung. Berbagi tidak hanya bisa dilakukan dengan membagikan sumbangan atau bantuan. Berbagi juga bisa dilakukan dengan mendukung kegiatan usaha yang dijalankan pengusaha atau pedagang kecil dengan cara membeli dagangan mereka.

Jika melihat ada orang yang berjualan barang-barang kecil, beli lah dagangan mereka, karena dengan begitu pada dasarnya kita telah berbagi rasa bahagia dan senang agar mereka beserta keluarga juga bisa ikut tersenyum, dan dengan demikian kita telah ikut menjadi orang yang tidak memonopoli senyum. (*) 


Penulis adalah Sekretaris BPC Perhimpunan Humas (Perhumas) Indonesia Provinsi Aceh

  

 


Tidak ada komentar