Breaking Articles

Karena Robot Tak Pernah Ngopi

Ungkapan ‘ngopi’ kini kian sering terdengar di masyarakat. Tak kenal usia. Mulai dari orang tua hingga remaja sangat familiar dengan ungkapan ‘ngopi’. Namun ungkapan ‘ngopi’ sendiri ternyata memiliki makna yang bervariasi. Mulai dari yang sesuai letter lux yaitu minum kopi hingga berbagai makna lainnya.

Mengutip Riyanto dalam di terminal mojok.co, ada macam-macam arti yang bisa muncul ketika ada orang mengucapkan kata “ngopi”. Ada yang mengganti kata ‘nongkrong’ dengan istilah ‘ngopi’. Ada juga yang niatnya mengajak teman untuk kerja di luar, hingga anak muda yang mengajak pasangan ngedate menggunakan istilah ‘ngopi’. Kesimpulannya, istilah ngopi sekarang lebih merujuk datang ke kedai kopi, entah memang mau minum kopi, susu, kopi susu, teh manis, es teh manis, teh hijau, teh tarik, teh tarik hijau, es teh tarik hijau dsb.

Terkhusus lagi bagi masyarakat Aceh yang hampir di setiap jengkal tanah berjajar warung kopi, hingga di Aceh ada istilah “ngopi bek pungo” (ngopi supaya tidak gila), banyak persoalan di masyarakat terselesaikan (biasanya sambil ngopi) di warung kopi.

Maka sehubungan wacana akan digantikannya Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan robot Artificial Intelligence (AI) yang kini beredar di berbagai media, maka untuk kompetensi tertentu seperti public relations (kehumasan) yang membutuhkan kombinasi unik antara intuisi, nalar, empati, emosi serta kreativitas yang tidak terbatas, akan mustahil digantikan oleh robot apapun.

Fungsi dari praktisi kehumasan tidak dapat digantikan oleh kehadiran AI, karena masih banyak tugas atau kegiatan kehumasan yang tidak akan bisa diganti dengan AI.

Tugas-tugas yang bisa dilakukan oleh AI merupakan sebagian kecil dari tugas utama praktisi kehumasan. AI masih tidak bisa merancang strategi komunikasi yang komprehensif untuk client. Selain itu AI juga tidak memiliki kemampuan untuk mambangun dan membina komunikasi secara personal, baik dengan jurnalis maupun dengan influencer agar mereka bisa membantu praktisi kehumasan dalam menyampaikan dan menyebarkan pesan dari sebuah brand, atau pesan dari client.

Bisa jadi AI bisa membantu memprediksi krisis yang akan terjadi dalam sebuah campaign, tapi AI tidak dapat menanggulangi dan mengelola krisis tersebut. AI hanya memudahkan arus informasi, penyampaiannya tetap membutuhkan sosok humas. Penjelasan informasi tetap harus disampaikan oleh manusia, karena itu butuh interaksi antara dua manusia, bukan dua mesin atau robot.

Lompatan informasi memang terasa lebih cepat dan mudah dengan kemunculan teknologi seperti AI. Kecepatan itu menciptakan tantangan bagi para praktisi humas, yakni harus mengikuti isu-isu harian yang terjadi di sekitarnya.

Meskipun berdasarkan riset, masih ada beberapa pekerjaan kehumasan yang berpotensi digantikan oleh AI. Mulai dari media monitoring, media analysis, media relations hingga distribusi rilis, tapi ada bagian yang tidak mungkin digantikan oleh AI, seperti sense. Itu hanya dimiliki manusia. (dari berbagai sumber)

Penulis adalah Pranata Humas Ahli Muda pada Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Kota Banda Aceh, Sekretaris BPC Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) Provinsi Aceh. 

Tidak ada komentar