Peumulia Jamee, Sepenggal Tradisi yang Kian Tergerus
“Peumulia jamee
adat geutanyoe”. Pepatah ini sangat populer di tengah masyarakat Aceh.
Pepatah yang bermakna “memuliakan tamu, adat kita” ini sudah sangat membumi di Provinsi
paling barat Indonesia ini. Sejak zaman dahulu Aceh dikenal sebagai kerajaan
yang terbuka dan sangat menghormati tamu.
Dalam Seri Informasi Budaya No. 24/2011 terbitan Balai
Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, Essi Hermaliza
menguraikan, beberapa catatan sejarah menunjukkan bahwa para pemimpin terdahulu
di Kerajaan Aceh sangat menghargai tamu. Pada dasarnya Aceh sejak dahulu
terkenal sebagai negeri yang terbuka terhadap tamu. Masyarakat Aceh mudah
menerima kehadiran orang dari luar. Dibalik karakteristik yang dikenal
"keras", ureung Aceh memiliki keramahan. Pemulia Jamee merupakan
tradisi yang berkembang pada kedelapan kelompok suku bangsa di Provinsi Aceh.
Pemulia
Jamee disebutkan terkait dengan sikap masyarakat yang suka menerima tamu
dan melakukan berbagai upaya untuk mewujudkannya. Sikap yang mentradisi ini
dilandasi oleh pandangan bahwa memuliakan tamu merupakan perilaku yang terpuji.
Bagi masyarakat Aceh yang menjunjung syari'ah, sikap ini bersumber dari Islam,
sesuai dengan hadist riwayat Bukhari dan Muslim yang menegaskan bahwa di antara
ciri-ciri orang beriman kepada Allah SWT dan hari akhirat adalah
memuliakan tamu.
Penulis
tidak ingin terlalu jauh mundur ke zaman keemasan kesultanan Aceh, namun jika
kita mundur sedikit saja ke era 1980-1990, tradisi peumulia jamee di Aceh masih sangat terasa. Jika ada kerabat yang
pulang dari perantauan umpamanya, warga bagaikan berebutan untuk menjamunya di
rumah-rumah mereka. Meskipun rumah dan kehidupan mereka sangat sederhana.
Orang Aceh kala
itu bahkan merasa tersinggung jika sang tamu menolak menginap di rumah mereka.
Walaupun tamunya ditidurkan di ruang tamu atau kalau rumah tradisional Aceh biasanya
ada ruangan luas tanpa kamar. Sang tamu
juga disuguhkan makanan sesuai kemampuan.
Kopi dan Nasi
Bagi tamu
yang hanya datang sebentar dan tidak menginap biasanya dijamu dengan minum kopi
dan makan nasi. Juga di rumah, bukan di warung kopi atau warung nasi. Jamuan
minum kopi dan makan nasi ini seolah tak mengenal waktu. Meskipun jam makan
siang di Aceh biasanya antara pukul 12.00 hingga pukul 14.00 siang, jika tamu
datang antara diatas pukul 14.00 hingga sebelum magrib, tamu tetap disuguhkan
makan. Sekalipun itu bukan rumah pertama yang dikunjungi sang tamu. Walaupun
sudah makan di rumah sebelumnya, tetap harus makan walau sedikit. Nah, disini
giliran tamu yang harus memuliakan tuan rumah.
Tradisi ini kemudian
sedikit tergerus di masa pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM). Warga
sedikit selektif dalam menerima tamu terlebih yang berasal dari daerah konflik.
Sebab tidak ingin berurusan dengan aparat keamanan. Terlebih kala itu ada keharusan
tuan rumah untuk melapor kepada aparat desa kalau ada tamu yang menginap di
rumah. Warga yang tidak ingin repot, tidak menawarkan tamunya menginap. Bahkan tidak
jarang harus menolak secara halus jika ada tamu yang ingin menginap.
Pasca
musibah bencana dan tsunami yang meluluhlantakkan Aceh, pertumbuhan warung kopi
dan perhotelan di Aceh yang sangat luar biasa sedikit banyak telah mempengaruhi
pergeseran tradisi peumulia jamee di
tengah-tengah masyarakat Aceh.
Hari ini
warung kopi telah menjadi seuramoe bagi
masyarakat Aceh untuk menjamu kerabat mereka. Begitu pula penginapan yang
begitu mudah ditemui menjadi pilihan alternatif bagi para tamu. Bisa jadi hal
ini dengan pertimbangan tidak ingin merepotkan.
Tergerusnya tradisi peumulia jamee ini juga berdampak pada lesunya industri bubuk kopi di Aceh dan permintaan terhadap bubuk kopi eceran bagai terjun bebas. Karena orang Aceh semakin sedikit yang ngopi di rumah. Terlebih lagi sebagian besar warung kopi di Aceh menyediakan jaringan internet gratis. Sehingga tak heran banyak yang menghabiskan waktu berjam-jam di warung kopi walaupun bukan penikmat kopi. (*)
Tidak ada komentar